Rabu, 29 Juni 2022

ritual mondosiyo upaya merawat tradisi

  



  

Mondosiyo lawu karanganyar

Terdapat acara ritual adat di lereng gunung Lawu dikenal sebagai wilayah yang sakral, penuh dengan misteri gaibnya, sehingga menjadi pusat kegiatan ritual dan upacara adat karena disana dianggap paling sempurna. Hampir setiap perbukitan sepanjang lereng barat dan utara gunung Lawu ditemukan berbagai jejak petilasan dan makam atau pesarean para tokoh spiritual jawa penganut kepercayaan warisan luhur bangsa. Salah satu upacara tradisi yang hingga kini diyakini mampu membawa berkah berlimpah-limpah adalah Upacara Adat Mondosiyo. Upacara ini dilakukan oleh masyarakat suku jawa di Dusun Pancot, Kelurahan Blumbang dan Desa Tengklik Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar, pada setiap hari Selasa Kliwon Wuku Mondosiyo.

Legendanya  upacara adat ini dilaksanakan dalam rangka memperingati kemenangan masyarakat adat, karena seorang pemuda perkasa telah berhasil mengalahkan dan menghancurkan perilaku kekejian dan kebiadaban nafsu sang Prabu boko, seorang raksasa pemakan manusia. Wujud upacara tadi  melalui doa adat yang dipanjatkan, dan sesaji tradisi yang dipersembahkan masyarakat dan semua peserta upacara adat Mondosiyo. Upacara adat ini bertujuan agar masyarakat luput dari malapetaka serta terbebas dari marabahaya, bahkan memperoleh kedamaian dan kemakmuran serta kemudahan hidup bersama dalam masyarakat secara terus menerus.Tata Upacara ini dimulai pada hari Minggu Pon. Dua hari sebelum puncak Upacara Mondosiyo berlangsung, masyarakat setempat mengumpulkan beras untuk diolah menjadi gandhik, serta aneka makanan khusus lainnya sebagai perlengkapan sesaji. Di samping itu, secara gotong royong masyarakat setempat membeli seekor kambing dan sejumlah ayam kampung sebagai sesaji utama.

Warga menyiapkan uba rampe upacara adat sejak tiga hari sebelum acara, yang rame adalah rebutan ayam. Prosesinya diawali atraksi sejumlah kelompok Reyog. Mereka berjalan dari gerbang desa menuju situs batu gilang. Atraksi Reyog berhenti setelah kenong dipukul. Selanjutnya, pemangku adat akan menyiramkan air badek atau tape ke situs batu gilang. Dikisahkan dulu Dusun Pancot dikuasai raksasa jahat pemangsa manusia, Prabu Boko. Raja lalim itu takluk kepada Pangeran Putut Tetuko melalui pertempuran sengit. Akhirnya Putut Tetuko memenggal dan melemparkan kepala raksasa  ke batu. Lantas batu ini dikeramatkan warga dan dikenal sebagai batu gilang.

dilain lokasi juga ada ritual mondosiyo di dusun pancot juga ada di pelataran candi cetho. Artinya upacara ada didua lokasi. Kalau di candi cetho , upacara adat ini ditandai berkumpulnya warga di pelataran Candi Cetho dengan membawa uba rampe berupa tumpengan komplit lauk pauknya. Tokoh spiritual memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk keselamatan dan kesejahteraan warga serta mendoakan arwah leluhur mereka. Dikisahkan, upacara ini memperingati hari kelahiran Ki Ageng Krincing Wesi, yakni leluhur warga Desa Cetho, pada wetonnya Selasa Kliwon Wuku Mandasiya. Seluruh masyarakat dusun itu mengikuti ritualnya tanpa memandang perbedaan agama. Tersedia seratus lebih tumpeng lengkap dengan ingkung bakar di tiap tumpengnya, yang dibawa oleh masing-masing keluarga itu. Usai dibacakan doa, warga mengambil bertukar tumpengannya untuk kemudian disantap di rumah bersama keluarganya. Memang dalam kesadaran masyarakat disana upacara ini selain menghormati leluhur, mensyukuri nikmat dari tuhan juga sekaligus sebagai media silaturahmi juga.

Di hari yang sama, dua perkampungan di lereng Lawu  melaksanakan ritual adat Mondosiyo, baik di pancot maupun di cetho meski prosesinya berlainan, namun semua mengikuti pakem sesuai yang diajarkan leluhur mereka. Semua baik-baik saja diantara masyarakatnya juga saling menghormati dan menjaga kerukunan . Sementara  literasi sejarah lisanya, memberikan gambaran saat kehancuran Majapahit (sirna ilang kerthaning bhumi) tahun 1400 saka atau 1478 masehi, ada keyakinan bahwasannya Prabu Brawijaya naik ke gunung Lawu menyingkir ke Cetho bersama dua penasehatnya (Sabdopalon dan Noyogenggong) dan didampingi oleh Ki Ageng Krincing Wesi melakukan tapa brata. Layaknya dalam tradisi Hindu melakoni kehidupan sebagai seorang Sanyasin. Itulah yang menjadi sebab pada gugusan candi Cetho selain tempat pemujaan kepada Hyang Widhi terdapat pula tempat pemujaan terhadap Prabhu Brawijaya, Sabdopalon, Noyogenggong dan Ki Ageng Krincing Wesi. Yang penting legenda dan sejarah masyarakat , memberikan sebuah ajaran untuk menghormati leluhur, selalu bersyukur atas nikmat dari tuhan serta guyup rukun antar sesama masyarakat tanpa membedakan agama dan status sosial. Merawat tradisi berarti merawat kebudayaan nusantara. fotodoc desy kranyar

Tidak ada komentar: