Jumat, 20 Juli 2018
Minggu, 15 Juli 2018
seni drama tari dan musik dalam pagelaran Jatayu Tiwikromo
Sinopsis
sendratasik Jatayu Tiwikromo
Pementasan
sendratasik kolosal JATAYU TIWIKROMO ini, adalah rangkaian antara seni teater, tari dan musik melahirkan pementasan gerak teater eksplorasi tubuh
dengan iringan musik dalam menyampaikan kebhinekaan. Penonton nantinya akan
disuguhi adegan atraktif atau laga yang mempesona dengan performance arts
berbasis seni tradisi di Jember Multieknik.
Sendratasik kolosal JATAYU TIWIKROMO menjadi
salah satu alternatif pilihan seniman
Jemberan yang tergabung dalam Dewan Kesenian Jember menyampaikan persoalan, fenomena atau gagasan
kebhinekaan Indonesia tanpa menggunakan bahasa verbal artistik.
Jatayu Tiwikromo menceritakan , bahwa
membangun tatanan masyarakat majemuk diperlukan simbol pemersatu. Memang dalam
prosesnya pasti akan menemukan pujian dari yang pro dan ujaran kebencian dari
yang kontra. Perlawanan demi perlawanan yang berusaha mengusik proses selalu
berupaya penghancuran karakter budaya bangsa. Dalam keadaan lemah hancur
berkeping keping, justru muncul semacam kristal dari elemen-elemen yang secara
konsisten membangun proses tersebut. Perenungan serta aksi masih juga di uji
oleh waktu. Dan akhir hasil dari perenungan itulah menjadi wujud kekuatan
pemersatu bangsa.
Awak
produksi Jatayu tiwikromo
Sutradara Iwan Kusuma, Koreografi Laksmita Wisnu,
Kostum Wiwik, Make up Kartika Angel , ilustrasi musik Fathorosy, manager
panggung Basiswanto, photografer Dimas dan Fredy , Co Talent Suharsono, Co
Property Farid Wajdi, CO Harmonisasi alam
Sutinggal dan Choidhar Kodrat . Didukung oleh 210 talent dari :
Sanggar tari Hastarini, UKM Kesenian
Universitas Jember, Sanggar Seni Jaranan Cemeti Amarosuli, Paduan suara Cantus Caelum Choir Jember,
Marchingband SMK Pancasila 3 Ambulu, Cakar Unej, Keroncong Pamori, grup musik
Patrol Zalher , Paguyuban difable Jember, SMK Kartini, SMAN Arjasa, Sanggar
Satrya Muda Jelbuk, Cak Lip Sumbersalak, Bopo Sutinggal dengan CEMETI Amarosuli
Wirowongso, asosiasi UMKM Jember, Komunitas Pelukis Jember, Sanggar Macapat
Tegalbesar, komunitas warga Wirowongso, SMA Muhammadyah Jember, Sanggar Rias
Chez Karyaka, Kaimana productions, grup Glundengan Sumbersalak, grup Ludruk
Surya Utama, Ludruk Fajar Pagi, sanggar seni Satri Muda Tak butaan Arjasa,
Sardulo Anurogo Reyog Universitas Jember .
Sabtu, 14 Juli 2018
PARIKAN DI JEMBER
KIDUNGAN
PARIKAN JULA JULI SEBAGAI BAHAN BAKU GERAKAN KEBUDAYAAN YANG BERKEPRIBADIAN KEBANGSAAN INDONESIA
*IWAN
KUSUMA , SEKRETARIS DKJ
Bicara
Jula juli berarti akan dimulai dari ludruk. Pertama, ludruk adalah kesenian
drama tradisional Jawa Timuran yang merupakan drama tradisional oleh sebuah grup kesenian
yang dipanggungkan dengan cerita tentang
kehidupan rakyat sehari-hari, cerita perjuangan kemerdekaan biasanya diselingi
dengan lawakan diiringi gamelan . Dulu bentuk ludruk masih sangat sederhana bentuk
seni yang berisi parikan dan dialog. Karena tarian yang dibawakan selalu
menghentakkan (gedruk-gedruk) kaki, seni itu kemudian diberi nama “ludruk”. Bahasa
panggung ludruk terasa sangat lugas , sehingga mudah diserap oleh kalangan non
intelek. Dalam strukturnya terdapat dialog/monolog dalam ludruk bersifat
menghibur dan membuat penontonnya tertawa, menggunakan bahasa khas Jawa timuran
termasuk bahasa madura.
Kedua,
dalam pementasan ludruk biasanya di buka dengan ngremo .Tari Remo, tari yang
menggambarkan seorang gagah dan tampan.
Setelah itu lawakan diawali dengan seorang pelawak yang menampilkan kidungan,
kemudian disusul beberapa pelawak lain. Mereka berdialog dengan materi humor
yang lucu. Kidungan biasa di sebut jula juli (bahasa Jawa) dan Ngejung (bahasa
Madura). Ketiga, masuk ke inti ludruk, dawali tari – tari sebagai atraksi
hiburan termasuk ada juga dangdutan. Baru kemudian masuk dalam inti cerita
ludruk.
Jula juli , parikan
dan kidungan adalah sastra lisan khas rakyat Jawa Timur.
Kidung Jula juli ini
termasuk pantun jenaka berbahasa Jawa. Jula juli adalah pantun atau parikan bisa dimasukan
sebagai tradisi sastra lisan.(kini sudah
banyak yang dibukukan) Fungsi parikan sebagai pitutur (nasehat) para orang tua
kepada anak muda untuk bersemangat dalam berjuang menjalani hidup. Bisa juga
menjadi sastra perlawanan dalam melawan penjajah , karena sejarah lahir
berkembangnya ludruk pada saat perang kemerdekaan Indonesia.(Kamus Satra Jawa
Poerwadarminta 1930, ludruk artinya teledek dan badut). Jadi sangat
dimungkinkan bahwa karya seniman kidungan jula juli ini terpengaruh oleh
situasi apresiasi kritis rakyat terhadap kondisi penjajahan dan akibat yang
ditimbulkan oleh peperangan.
Struktur jula juli
Jula juli adalah
kata-kata bahasa Jawa yang susunannya terdiri dari 2 atau 4 bait. Bait pertama
atau kedua merupakan “umpan pembuka”. Sedang bait ke 3 dan ke 4 adalah isi atau
inti dari pesan yang hendak disampaikan. Bunyi terakhir dari bait “pembuka”
harus mirip dengan bunyi kata terakhir dari bait “isi” sehingga “akhirnya”
terdengar enak dan pas. Jula-juli bukan sekedar lucu,
tapi harus bermakna bermanfaat bagi pendengar serta pembacanya. Dalam ludruk ,
jula-juli terdiri dari lima sampai delapan parikan yang saling terkait. Isi
dari jula juli biasanya menggambarkan benang merah dari lakon / cerita yang
akan dipentaskan.
Kritik sastra analisa unsur sosial dalam
Kidung Jula Juli
Pendukung
aktif tradisi sastra lisan parikan adalah penari remo, pelawak, tandak
pravestri, dan pemain ludruk yang, dalam perspektif kritik sastra , tergolong
kelas bawah. Kelompok sosial yang menjadi sasaran parikan adalah semua
kalangan, baik masyarakat bawah maupun pemimpin masyarakat/negara Fungsi sosial
parikan adalah menggambarkan dan mengkritik perilaku anggota masyarakat,
pemimpin negara, dan realitas sosial keadaan masyarakat, yang, dalam perspektif
kritik sosial, diwujudkan dalam bentuk ironi, imitasi, dan terutama enekdot dan
parodi.
Dari
kalimat-kalimat tersebut dapat menciptakan sebuah karya baik karya tulis maupun
karya lisan, salah satu karya tersebut dinamakan karya sastra, sebuah karya
sastra diciptakan oleh pengarang sebagai sarana untuk menuangkan ide dan
aspirasinya melalui alat bahasa. Suharianto , mengemukakan bahwa karyawan tidak dapat di
pisahkan dari kehidupan, mengingat karya sastra itu sendiri merupakan hasil
pengamatan sastrawan atas kehidupan sekitarnya. Terdapat susunan kalimat yang
bermakna kritik sosial dalam tradisi sastra lisan, fungsi sosial, parodi atau
lelucon masyarakat kelas bawah.
Contoh
Manuk
kuntul mangan teri
Kadung
ucul ucul, anake tangi
Sastra
lisan seperti parikan, dongeng, cangkriman, tetembangan, masih hidup di
masyarakat Jawa . Dari semua bentuk tersebut, parikan bahasa Indonesianya:
pantun menempati urutan teratas dalam hal keluasan distribusi, frekuensi
kemunculan, dan kebertahanan hidup di tengah pendukungnya. Sebagai tradisi
lisan, parikan muncul lewat interaksi sosial konkret empiris sehari-hari.
Sastra ini hadir dalam pentas panggung ludruk, ketoprak, wayang kulit, kuda
lumping, kelompok karawitan, bahkan mengalir dalam lagu-lagu langgam dan
campursari.
Dalam
drama rakyat ludruk, misalnya, parikan muncul dalam lantunan jula-juli penari
remo, kidungan dagelan (lawak), dan para tandak . Meskipun , dalam jula-juli tersebut isinya
tidak hanya parikan tetapi mungkin tetembangan.
Tulisan ini hanya kajian sosiologi sastra yang sengaja mengangkat
julajuli dalam kesenian rakyat ludruk sebagai fokus kajian. Fokus mengidentifikasi
masalah berikut: (1) Siapa pendukung aktif sastra lisan kidungan dalam pentas
ludruk (2) Kelompok sosial manakah yang menjadi sasaran dalam kidungan ludruk, 3) apa fungsi kidungan julajuli dalam ludruk
Kajian
sosiologis ini menggariskan pentingnya karya sastra berfungsi secara sosial.
Setiap pengarang mempunyai tanggung jawab sosial dalam mengkritik ketimpangan sosial . Teks sastra
lebih merupakan reaksi terhadap konteks sosial ketimbang sebagai cerminan
kenyataan masyarakat. Dalam teks (lisan maupun tulis) reaksi tersebut
ditampilkan dalam wujud ironi (pertentangan), parodi (sindiran), atau imitasi
(peniruan).
Pendukung Aktif Sastra Lisan Parikan dalam
Ludruk
Parikan
mempunyai kedudukan penting dalam setiap kesenian rakyat ludruk, baik pentas di
panggung rakyat, media elektronik televisi, maupun dalam rekaman kaset. Dalam
setiap penggelaran ludruk, parikan muncul dalam nyanyian penari remo sebagai
pembuka pentas ludruk, muncul nyanyian gending jula-juli para pelawak, baik
gaya jombangan, surabayan, maduraan maupun malangan, serta hadir dalam nyanyian
para tandhak pavestri. Bahkan, dalam dalog dagelan atau adegan cerita inti pun,
parikan biasa muncul, tidak hanya dari bibir pelawak, tetapi juga dari para
pemeran lainnya. (Suprianto, 1992). Dengan demikian, dapat dirangkumkan bahwa
pendukung aktif parikan—yang aktif menyuarakan—dari awak drama rakyat ludruk
ada empat kelompok: (1) penari remo, (2) pelawak (dagelan), (3) tandhak
pavestri, dan (4) pemain ludruk.
Kelompok Sosial Sasaran
Yang
dimaksud “sasaran” di sini adalah pihak-pihak yang dituju dengan dilantunkannya
parikan atau tentang siapakah yang dilukiskan dalam lantunan parikan itu. Sasaran
kidungan ludruk mengarah pada berbagai kelompok. Jadi, tidak hanya penonton
yang rata-rata golongan menengah ke bawah , tetapi juga para pemimpin negara
(eksekutif dan legislatif).
Kelompok
sasarannya jelas golongan rakyat kebanyakan golongan yang menjadi pendukung
terbesar kesenian ludruk. Umumnya adalah para petani, buruh pabrik, nelayan,
tukang becak, kuli bangunan dan kuli angkut pelabuhan, dll. Pendeknya,
orang-orang kecil yang sering termarginalisasikan dari putaran nasib.
Jarene
nang pasar kewan , jebul nang mbultuk
Jare
dadi dewan, jebule malah ngantuk
Contoh lagi
Pring
biyen tipis-tipis
Pring
saiki umure rong sasi
Maling
biyen nggawa linggis
Maling
saiki do nggawe dasi
Contoh lagi
Bekupon
omahe dara
Masiya
wis gak dijajah Nipon, pancet sengsara
Kidungan
jula juli tadi ada yang sudah
dilantunkan saat Indonesia masih dijajah Jepang (1942—1943) . Seluruh seniman
ludruk senantiasa membanggakan heroisme Cak Durasim putra Jombang ini. Cak
Durasim dianggap orang yang berbahaya yang harus diawasi, diwaspadai, dan
memang akhirnya dijebloskan ke penjara oleh tentara Jepang.
Iwak
sepat saka Banyuwangi
Dipangan
ambek ganongan
Dadi
pejabat, kok korupsi
Ngono
iku jenenge bajingan
Fungsi Sosial Parikan Ludruk
Sebagai
produk tradisi sastra lisan, parikan mempunyai beberapa fungsi sosial. Fungsi
sosial yang dimaksud dapat dikelompokkan ke dalam tiga jenis, yaitu: (a)
menggambarkan realitas perilaku anggota masyarakat dan pemimpin negara, (b)
mengkritik perilaku anggota masyarakat dan para pemimpin negara, dan fungsi
lainnnya (c) menggambarkan buruknya realitas kehidupan masyarakat dan negara.
Dina
Minggu mase prei
Ditunggu-tunggu
berase kok gak diwehi
Di sini
sangat jelas fungsi kritik sosialnya. Jula juli sangat mungkin digunakan menyindir
realitas sosial . Sering digunakan saat
berhadapan dengan kesewenangan kekuasaan. Inilah cara khas wong cilik
melancarkan kritik lewat ekspresi artistiknya .
Kesenian rakyat yang berkepribadian akan
mampu menjadi gerakan kebudayaan
Kesenian
rakyat seperti kidungan, parikan ataupun jula juli yang berakar pada kesenian
Ludruk ini jika kita kaji dengan seksama telah memenuhi syarat-syarat sebagai
gerakan yang membumi. Tidak tercerabut dari akarnya, tetapi tetap eksis bahkan
teruji dalam kurun waktu yang cukup lama dan berhasil survive di tengah –
tengah gempuran seni-seni modern terutama di jawa timuran. KONSEP “TRISAKTI”
BUNG KARNO. Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno dalam Pidato Trisakti
tahun 1963 menegaskan: 1. berdaulat secara politik 2. berdikari secara ekonomi
3. berkepribadian secara sosial budaya. Dalam konteks ini sastra lisan khas
jawa timuran bisa dikatakan telah membangun konsep trisakti Bung Karno yang
ketiga berkepribadian dalam budaya. Kidungan , parikan maupun jula juli mampu
memberikan arah kepada rakyat baik untuk mengungkapkan sikap kritisnya pada
penguasa dan lainya mengapresiasi. Fungsi sosialnya bahwa dalam prakteknya
komunitas ini lebih merakyat dan mampu mempengaruhi siapa saja untuk diingatkan
secara vulgar ataupun ironi. Sikap kebangsaan mereka para pendukung sastra
lisan jawa timuran ini sangat jelas, dalam setiap lakonnya terutama mengenai
situasi kemerdekaan Indonesia selalu memberikan ulasan-ulasan semangat
nasionalisme ala masyarakat bawah. Bahwa hasil cipta karya dan karsa para
seniman ludruk justru tidak eksklusif (individual) karena nampak
bangunan-bangunan demokratis dan kegotong royonganya , tetapi mereka berusaha
untuk men siarkan pada khalayak umum . Jika sikap para seniman sastra lisan
yang berakar dalan kesenian ludruk ini selalu meng update, situasi kekinian
baik sosial budaya , ekonomi politik dan disiarkan dalam panggung-panggung di
pedesaan , maka di jawa timur khususnya akan mampu menjadi gerakan kebudayaan
yang berkepribadian kebangsaan Indonesia.
Kesimpulan
Pembahasan tadi dapat ditarik kesimpulan berikut. (1)
Pendukung aktif tradisi sastra lisan parikan julajuli adalah penari remo,
pelawak, tandak , dan pemain ludruk, yang
tergolong masyarakat bawah. Sehingga sangat disarankan agar rakyat kecil
selalu memberikan apresiasi terhadap kehadiran lufruk terutama jula julinya(2)
Kelompok sosial yang menjadi sasaran parikan adalah semua kalangan, baik
masyarakat bawah maupun pemimpin masyarakat/negara . Bahwa parikan jula juli
bila terjaga keberadaannya akan mampu menjadi cerminan masyarakat untuk semua
kalangan. (3) Fungsi sosial parikan jula juli adalah mengkritik perilaku masyarakat, penyelenggara
negara, dan realitas sosial masyarakat, dalam bentuk ironi, imitasi, dan
terutama parodi badut. Jika seni sastra
lisan yang berakar diseni ludruk ini mampu dilaksanakan secara masif serta
dalam pemanggungannya selalu meng update situasi sosia budaya,l ekonomi dan
politik dan selalu berdekatkan dengan masyarakat di pedesaaan dan perkotaan
maka sanga dimungkinkan menjadi gerakan kebudayaan yang berkepribadian
kebangsaan Indonesia. Saran agar
penguasa tidak selalu membuat rakyat kecil sebagai obyek penderita.
*disajikan
sebagai bahan diskusi dalam acara seminar jula juli di RRI Jember #iwankusuma
Langganan:
Postingan (Atom)