Jember merupakan kota perkebunan yang dulunya dikuasai oleh para pengusaha perkebunan dari warga negara klas satu dan dua yang mendapatkan hak istimewa untuk mengelola wilayah jajahan Belanda ini. Sehingga Jember merupakan bukaan kota baru, yang menawarkan gula-gula kesejahteraan terutama untuk mencari pekerjaan di kebun-kebun Belanda tersebut. Berdatanganlah masyarakat dari segala penjuru disekitar Jembe maupun sampai luar pulau. Makanya dibeberapa wilayahnya Jember terlihat sangat beraneka ragam asal masyarakatnya.
Festival HAM 2019 yang diadakan di Jember, memasuki tahun
ke-7 kali ini mengangkat tema pembangunan daerah berbasis HAM dan berkeadilan
sosial melalui pendekatan budaya. Alasan Komnas HAM menggandeng pemerintah
daerah untuk berperan aktif dalam kegiatan Festival HAM, salah satunya adalah,
karena pemerintah daerah menjadi pihak yang sering diadukan ke Komnas HAM. Terutama
masalah penggusuran, perampasan tanah rakyat, ijin investasi baik industri
manufacturing atau pertambangan yang terjadi didaerah dan masyarakatnya
melaporkan kepada Komnas HAM.
"Pemerintah daerah memang paling banyak diadukan setelah
Kepolisian dan sektor swasta, misalnya upah minimum, perda diskriminatif, ijin
pertambangan, dan lain-lain menjadi hal yang sering diadukan oleh
pengadu," terang Beka Komisioner Komnas HAM.
Sedangkan, Festival HAM 2019 diselenggarakan di Kota
Tembakau, Jember karena pemimpin daerahnya memiliki komitmen untuk melaksanakan
program pembangunan berkeadilan dengan memperhatikan budaya-budaya daerahnya. Dengan
keragaman budaya tradisi, ras , suku dan agama di Jember yang tidak saling
menghilangkan ini kehidupan saling menghargai dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara.
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengapresiasi malam
seni 20/11/19 Festival HAM yang diadakan di Alun-alun Kota Jember agar menjadi sarana bagi pemerintah daerah
terhadap pelaksanaan penegakan HAM di wilayahnya. "Festival HAM di Jember
ini saya lihat banyak melibatkan anak-anak muda , acara seperti ini bisa menjadi
sarana untuk berbagi, menceritakan pengalaman mereka termasuk dalam menyusun
kebijakan berdasarkan perspektif gender, hak anak serta penyandang
disabilitas," ujarnya.
Senada dengan pernyataan diatas , muncul statement dari
seniman Jember, “Pendekatan budaya yang dilakukan tersebut dibuktikan dengan
pagelaran seni yang melibatkan semua unsur dalam masyarakat, karena budaya seni
tradisi dan kesenian mempunyai nilai-nilai kemanusian yang universal,”kata
Choidar kodrat dari Wongseje. Pasalnya malam kesenian Festival HAM yang kami
garap dengan tim dari Umar Kayam Foundation ini melibatkan kelompok grup
patrol, hadrah, paduan suara dari GKJW (Gereja Kristen Jawi Wetan), sanggar tari
Hastarini dan Putra Sakti serta kelompok seni tradisi remong dari Jinggo
pratama yang personilnya sepuh-sepuh dan jarang melakukan pagelaran dipadu
dengan penyanyi dangdut Pantura serta diramu dengan musik programer. Semua
dikemas secara asik-asik ae, karena semuanya ingin mendukung suksesnya acara
Festival HAM 2019 kali ini.
Pak Bagyo selaku pendukung dari paduan suara gereja (GKJW)
pun mengamini pernyataan Kodrat dari Wongseje dengan menyampaikan dukungannya.
"Kami selaku masyarakat jember berusaha sedapat mungkin menyajikan apa
yang kami bisa persembahkan. Saya mendukung sepenuhnya, karena kegiatan ini
merupakan even pembelajaran yang sangat efektif. Hak azasi manusia adalah
kepentingan semua orang, dan kita ini semua saudara ingin hidup rukun damai di
Jember tercinta," ucapnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar