Kamis, 21 November 2019

Seni budaya menjamin tumbuhnya ragam budaya hidup rukun damai.




Jember merupakan kota perkebunan yang dulunya dikuasai oleh para pengusaha perkebunan dari warga negara klas satu dan dua yang mendapatkan hak istimewa untuk mengelola wilayah jajahan Belanda ini. Sehingga Jember merupakan bukaan kota baru, yang menawarkan gula-gula kesejahteraan terutama untuk mencari pekerjaan di kebun-kebun Belanda tersebut. Berdatanganlah masyarakat dari segala penjuru disekitar Jembe maupun sampai luar pulau. Makanya dibeberapa wilayahnya Jember terlihat sangat beraneka ragam asal masyarakatnya.



Festival HAM 2019 yang diadakan di Jember, memasuki tahun ke-7 kali ini mengangkat tema pembangunan daerah berbasis HAM dan berkeadilan sosial melalui pendekatan budaya. Alasan Komnas HAM menggandeng pemerintah daerah untuk berperan aktif dalam kegiatan Festival HAM, salah satunya adalah, karena pemerintah daerah menjadi pihak yang sering diadukan ke Komnas HAM. Terutama masalah penggusuran, perampasan tanah rakyat, ijin investasi baik industri manufacturing atau pertambangan yang terjadi didaerah dan masyarakatnya melaporkan kepada Komnas HAM.

"Pemerintah daerah memang paling banyak diadukan setelah Kepolisian dan sektor swasta, misalnya upah minimum, perda diskriminatif, ijin pertambangan, dan lain-lain menjadi hal yang sering diadukan oleh pengadu," terang Beka Komisioner Komnas HAM.
Sedangkan, Festival HAM 2019 diselenggarakan di Kota Tembakau, Jember karena pemimpin daerahnya memiliki komitmen untuk melaksanakan program pembangunan berkeadilan dengan memperhatikan budaya-budaya daerahnya. Dengan keragaman budaya tradisi, ras , suku dan agama di Jember yang tidak saling menghilangkan ini kehidupan saling menghargai dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengapresiasi malam seni 20/11/19 Festival HAM yang diadakan di Alun-alun Kota Jember  agar menjadi sarana bagi pemerintah daerah terhadap pelaksanaan penegakan HAM di wilayahnya. "Festival HAM di Jember ini saya lihat banyak melibatkan anak-anak muda , acara seperti ini bisa menjadi sarana untuk berbagi, menceritakan pengalaman mereka termasuk dalam menyusun kebijakan berdasarkan perspektif gender, hak anak serta penyandang disabilitas," ujarnya.

Senada dengan pernyataan diatas , muncul statement dari seniman Jember, “Pendekatan budaya yang dilakukan tersebut dibuktikan dengan pagelaran seni yang melibatkan semua unsur dalam masyarakat, karena budaya seni tradisi dan kesenian mempunyai nilai-nilai kemanusian yang universal,”kata Choidar kodrat dari Wongseje. Pasalnya malam kesenian Festival HAM yang kami garap dengan tim dari Umar Kayam Foundation ini melibatkan kelompok grup patrol, hadrah, paduan suara dari GKJW (Gereja Kristen Jawi Wetan), sanggar tari Hastarini dan Putra Sakti serta kelompok seni tradisi remong dari Jinggo pratama yang personilnya sepuh-sepuh dan jarang melakukan pagelaran dipadu dengan penyanyi dangdut Pantura serta diramu dengan musik programer. Semua dikemas secara asik-asik ae, karena semuanya ingin mendukung suksesnya acara Festival HAM 2019 kali ini.


Pak Bagyo selaku pendukung dari paduan suara gereja (GKJW) pun mengamini pernyataan Kodrat dari Wongseje dengan menyampaikan dukungannya. "Kami selaku masyarakat jember berusaha sedapat mungkin menyajikan apa yang kami bisa persembahkan. Saya mendukung sepenuhnya, karena kegiatan ini merupakan even pembelajaran yang sangat efektif. Hak azasi manusia adalah kepentingan semua orang, dan kita ini semua saudara ingin hidup rukun damai di Jember tercinta," ucapnya.






Tidak ada komentar: