Kebutuhan rumah (papan) merupakan salah satu dari tiga
kebutuhan primer manusia, kebutuhan primer lainnya adalah sandang dan pangan.
Dalam salah satu pepatah mengatakan bahwa Home sweet home atau Rumahku adalah
Istanaku, oleh sebab itu sekiranya perlu memanjatkan rasa syukur kepada Tuhan
Yang Maha Kuasa yang telah memberikan rezeki. Rumah atau omah dalam bahasa Jawa
mempunyai arti tempat tinggal. Dalam pandangan orang Jawa rumah bukan sekadar
tempat tinggal, bernaung atau berkumpulnya keluarga. Rumah yang juga disebut
wisma merupakan simbol harkat, martabat dan juga kesempurnaan terutama bagi
laki-laki.
Rumah dalam masyarakat Jawa merupakan bangunan yang diumpamakan
pohon dengan bagian-bagiannya yang saling terkait dukung mendukung dan
membutuhkan. Rumah tanpa pendapa bagaikan pohon tanpa batang. Rumah tanpa dapur
diumpamakan rumah tanpa buah, tidak ada yang diharapkan. Rumah tanpa kandang
diumpamakan pohon tanpa daun, tidak bisa untuk berteduh. Rumah tanpa
gapura/tempat berdoa diumpamakan pohon. Rasa syukur ini dalam adat Jawa membangun
rumah di wujudkan dalam bentuk upacara adat munggah molo, salah satu tradisi
Jawa atau tradisi nenek moyang yang dalam era millenium ini menjadi salah satu
khasanah budaya yang ada di nusantara ini.
Tradisi ini dilakukan ketika seseorang dalam proses
membangun rumah, lebih tepat waktunya ketika menaikkan kerangka atap rumah
(Molo) untuk penyangga genteng. Prosesi adat Munggah Molo ini, rincian acara
adat ini dilaksanakan ketika pagi hari dengan berbagai syarat yang tersaji atau
dalam adat jawa disebut sesajen (sesaji) yang semuanya memiliki filosofi
tersendiri di antara sesaji tersebut; Gedhang setandan (pisang yang banyak)
dimaksudkan agar terbinalah kekompakan dan harmonisasi diantara keluarga dan
masyarakat sekitar. Tebu yang di cabut dari pangkalnya bermaksud agar keluarga
beristiqamah dalam melakukan kebaikan layaknya pangkal tebu yang tegak menopang
batang tebu, seuwit Pari (satu ikat padi kuning) dimaksudkan agar keluarga
dapat menggapai kejayaan dan kemakmuran akan tetapi semakin jaya semakin
menunduk (tawadhu') tidak sombong, kelapa melambangkan agar keluarga menjadi
kuat dan dapat bermanfaat untuk sesama (rahmatan lil 'alamin), bendera merah
putih menandakan nasionalisme, koin (uang receh) sebagai modal untuk usaha,
jajan pasar sebagai panjatan rasa syukur.
Disamping itu juga ada pakaian keluarga menandakan keluarga
harus selalu menjaga akhlaqul karimah dengan menutup aurat, kendi , pakumas
(paku warna emas), kayu salam dan daun salam mengharapkan keselamatan dari
Allah SWT, payung agar tuhan semesta alam dapat melindungi dengan rahmat Nya.
Setelah syarat-syarat tersebut sudah ada kemuadian keluarga memanggil tokoh
agama untuk mendo'akan dan memimpin prosesi adat tersebut, dan diakhiri makan
bersama para tukang bangunan dan masyarakat sekitar.
Itulah tradisi yang masih dilakukan oleh masyarakat sekitar jember
bagian selatan seperti ambulu , wuluhan dan di beberapa daerah jember lainnya. Adat
tradisi ini bukan berarti melenceng dari ajaran Islam, sejatinya ini adalah ungkapan rasa syukur
kehadirat Allah SWT dan Nabi Muhammad SAWatas nikmat dan karunianya. Tradisi
ini sebagai wujud nyata akulturasi Jawa dan Islam yang telah ada sejak dahulu.
Semoga tradisi ini selalu dilestarikan dan berlanjut meskipun di era
globalisasidan masa datang. Sehingga tradisi ini masih menjadi milik anak cucu
orang Jawa khususnya dan Nusantara pada umumnya.