Cerita tentang adanya kesenian Tabutaan di jember bagian utara
dan populer dimasyarakat termasuk di situ ada dua kecamatan yang berpotensi yaitu arjasa dan jelbuk menjadi kesenian mereka. Di dua kecamatan
ini banyak terdapat peninggalan pra sejarahnya. Sejarah lisanya terjadi krisis
paceklik atau laep dalam bahasa madura akibat hama yang melanda selama beberapa
tahun terus menerus. Masyarakat Desa Kamal jengkel dan membuat orang-orangan buta
raksasa untuk menakut-nakuti hama tadi katanya babi hutan mungkin karena
habitatnya terganggu akibat perambahan hutan untuk pemukiman dan lahan
pertanian. Sementara ini memang tak terdapat dokumen tertulis sejak kapan
munculnya kesenian Tabutaan, hanya dari mulut ke mulut dan penuturan keturunan Bujuk Yami. Belum jelas benar dari
keturunan suku mana beliau berasal mungkin juga sudah terjadi percampuran antar
budaya. Katanya keturunan beliau peninggalan prasejarah batu kenong raksasa yang
ada di kamal dan adat tradisinya juga ada hubugannya dengan prasasti huruf paku
di biting Arjasa. Tetapi perlu diketahui faktanya pelaku seni Tabutaan di Desa
Kamal saat ini mayoritas dari suku Madura, sehingga butuh penelitian tim ahli
terutama sambungan sisi sejarah dan prasejarah dengan fakta yang terjadi
disekitarnya.
Sejarah migrasi adalah pendatang dari Madura di Jember
bagian utara berdatangan terutama setelah adanya perkebunan swasta di Jember. Migrasi
mereka masuk ke wilayah Jember pada pertengahan pertama abad ke sembilan belas.
Sisi percampuran kebudayaan di jember, yang jaman dulu masuk wilayah Blambangan
merupakan titik temu dari berbagai macam pengaruh, baik pengaruh dari
kebudayaan Madura, Jawa, dan Bali, maupun dari kebudayaan asing, seperti Cina,
Arab, dan Eropa. Yang terakulturasi dalam bentuk metode komunikasi maupun
spiritualitas mereka, tentusaja ada pemangku yang dipercaya meramunya, biasanya
sesepuh desa atau pemimpin desa.
Masyarakat Desa Kamal yang kini mayoritas berasal dari Suku
Madura biasa mengadakan acara Kadisah semacam bersih desa kalau di jawa ,
biasanya ada prosesi Tabutaan yang menampilkan penari yang ada di dalam boneka raksasa
yang terbuat dari bambu yang dianyam dan diberi pakaian lengkap dengan tangan
terikat, berwujud sepasang butah atau raksasa yang diarak keliling desa setiap tahun
sekali. Yang menarik lagi doa dan mantranya diucapkan dalam bahasa Jawa kuna,
dengan diiringi alat musik dari lesung atau ronjengan yang dipukul , mungkin
disana nilai-nilai spiritual dianggap sakral sehingga menjadi lebih penting
dibanding nafsu duniawi.
Meskipun nilai-nilai spiritual itu sudah mengalami percampuran
efek akulturasi budaya yang penting mampu menjadi kepercayaan bahwa dengan
menyelenggarakan ritual bersih desa, apapun keadaan yang sedang menimpa mereka akan dapat di hadapi kedepannya
dengan selamat. Bisa jadi kesenian
Tabutaan pun adalah hasil dari budaya yang telah mengalami akulturasi budaya,
terutama pengaruh budaya Banyuwangi jaman blambangan, Arab termasuk doa pada
Allah SWT , Jawa dan Madura yang
terpengaruh islam yang meyakini bahwa pada saat bencana melanda secara
spiritualitas masyarakatnya harus memohon bantuan dari leluhur dan sang
penciptanya. Sebaiknya ada keseriusan pemerintah dalam memfasilitasi penelitian
disana , dan masyarakat bisa menunggu sambil terus menerus tetep berproses
budaya dengan seni tabutaannya bahkan tidak menutup kemungkinan akan muncul
yang baru. fotodocsoni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar