Jumat, 31 Juli 2020

amabilis Indonesia banget


Katakan dengan bunga rupanya kini semenjak dunia dilanda virus pandemi corona ini perempuan-perempuan baik yang muda maupun yang tua dewasa hobi beralih ke perawatan bunga. Apa mungkin karena mereka banyak waktu dirumah sehingga sering bikin bete dan gabut, maka kini akan ada perubahan dengan merawat bunga apapun itu. Salah satunya adalah bunga anggrek, tahukah kalian bahwa keindahan bunga anggrek memang sudah mendunia. Keindahnya menginspirasi lagu pop bahkan dulu sempat populer dimasanya, bunga anggrek dijadikan judul lagu . judul lagu Setangkai anggrek bulan yang dipopulerkan oleh Broery romantika ini merupakan sebuah penghargaan terhadap species asli anggrek Indonesia (phalaenopsis amabilis) Meski banyak jenis anggrek , mungkin pada waktu itu yang tenar  adalah anggrek bulan atau biasa disebut amabilis. Inilah lirik lagunya.
Setangkai anggrek bulan ,
Yang hampir gugur layu
Kini segar kembali entah mengapa 
Bunga anggrek yang kusayang
Kini tersenym berdendang

Bila engkau berduka
Matahari tak bersinar lagi
Hatiku untukmu hanyalah untukmu
Kuserahkan kudambakan

Dirimu dewiku permata hatiku
Kubayangkan di setiap waktu 
Bagai embun pagi hari
Bunga-bunga segar lagi

Berkembang harapan hati
Hari bahagia menanti
Hatiku untukmu
Hanyalah untukmu

Kuserahkan kudambakan
Dirimu dewiku
Permata hatiku
Kubayangkan di setiap waktu
Bunga anggrek termasuk tanaman langka, itu sebabnya pemerintah membuat undang-undang khusus untuk melindungi anggrek. Dalam Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1999, tertulis 29 bunga anggrek yang terbilang spesies langka. Makanya jangan sampai anggrek yang kita miliki menjadi punah dinegeri sendiri, bangganya Indonesia mempunyai kekayaan bunga anggrek yang asli berasal dari tanah air Indonesia.

Rabu, 26 Februari 2020

Orang Jawa punya adat ketika membangun rumahnya


 
Kebutuhan rumah (papan) merupakan salah satu dari tiga kebutuhan primer manusia, kebutuhan primer lainnya adalah sandang dan pangan. Dalam salah satu pepatah mengatakan bahwa Home sweet home atau Rumahku adalah Istanaku, oleh sebab itu sekiranya perlu memanjatkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan rezeki. Rumah atau omah dalam bahasa Jawa mempunyai arti tempat tinggal. Dalam pandangan orang Jawa rumah bukan sekadar tempat tinggal, bernaung atau berkumpulnya keluarga. Rumah yang juga disebut wisma merupakan simbol harkat, martabat dan juga kesempurnaan terutama bagi laki-laki.

Rumah dalam masyarakat Jawa merupakan bangunan yang diumpamakan pohon dengan bagian-bagiannya yang saling terkait dukung mendukung dan membutuhkan. Rumah tanpa pendapa bagaikan pohon tanpa batang. Rumah tanpa dapur diumpamakan rumah tanpa buah, tidak ada yang diharapkan. Rumah tanpa kandang diumpamakan pohon tanpa daun, tidak bisa untuk berteduh. Rumah tanpa gapura/tempat berdoa diumpamakan pohon. Rasa syukur ini dalam adat Jawa membangun rumah di wujudkan dalam bentuk upacara adat munggah molo, salah satu tradisi Jawa atau tradisi nenek moyang yang dalam era millenium ini menjadi salah satu khasanah budaya yang ada di nusantara ini.



Tradisi ini dilakukan ketika seseorang dalam proses membangun rumah, lebih tepat waktunya ketika menaikkan kerangka atap rumah (Molo) untuk penyangga genteng. Prosesi adat Munggah Molo ini, rincian acara adat ini dilaksanakan ketika pagi hari dengan berbagai syarat yang tersaji atau dalam adat jawa disebut sesajen (sesaji) yang semuanya memiliki filosofi tersendiri di antara sesaji tersebut; Gedhang setandan (pisang yang banyak) dimaksudkan agar terbinalah kekompakan dan harmonisasi diantara keluarga dan masyarakat sekitar. Tebu yang di cabut dari pangkalnya bermaksud agar keluarga beristiqamah dalam melakukan kebaikan layaknya pangkal tebu yang tegak menopang batang tebu, seuwit Pari (satu ikat padi kuning) dimaksudkan agar keluarga dapat menggapai kejayaan dan kemakmuran akan tetapi semakin jaya semakin menunduk (tawadhu') tidak sombong, kelapa melambangkan agar keluarga menjadi kuat dan dapat bermanfaat untuk sesama (rahmatan lil 'alamin), bendera merah putih menandakan nasionalisme, koin (uang receh) sebagai modal untuk usaha, jajan pasar sebagai panjatan rasa syukur.



Disamping itu juga ada pakaian keluarga menandakan keluarga harus selalu menjaga akhlaqul karimah dengan menutup aurat, kendi , pakumas (paku warna emas), kayu salam dan daun salam mengharapkan keselamatan dari Allah SWT, payung agar tuhan semesta alam dapat melindungi dengan rahmat Nya. Setelah syarat-syarat tersebut sudah ada kemuadian keluarga memanggil tokoh agama untuk mendo'akan dan memimpin prosesi adat tersebut, dan diakhiri makan bersama para tukang bangunan dan masyarakat sekitar.

Itulah tradisi yang masih dilakukan oleh masyarakat sekitar jember bagian selatan seperti ambulu , wuluhan dan di beberapa daerah jember lainnya. Adat tradisi ini bukan berarti melenceng dari ajaran Islam,  sejatinya ini adalah ungkapan rasa syukur kehadirat Allah SWT dan Nabi Muhammad SAWatas nikmat dan karunianya. Tradisi ini sebagai wujud nyata akulturasi Jawa dan Islam yang telah ada sejak dahulu. Semoga tradisi ini selalu dilestarikan dan berlanjut meskipun di era globalisasidan masa datang. Sehingga tradisi ini masih menjadi milik anak cucu orang Jawa khususnya dan Nusantara pada umumnya.

Rabu, 19 Februari 2020

ANUGRAH TERINDAH UTUK JEMBER






salah satu perempuan Jember telah membuktikan pada dunia dan nasional bahwa 
dia sosok yang ulet dan tidak mudah untuk disepelekan dan dicampakkan 
namun kini namamu disanjung dan digemakan seluruh seantero jember
diyakini akan membawa masa depan kota ini diperhitungkan lagi
kamu adalah anugrah terindah untuk masa-masa suhu politik sedang nanas
semoga kau tetap semangat dalam meraih cita-citamu
dan kami sebagai warga jember selalu mendukung langkahmu
majulah perempuan perempuan jember
tunjukan pada Indonesia bahwa sebenarnya engkau mampu
jalanmu semakin terbuka lebar diblantika musik tanah air
hiasilah setiap nada-nada yang mengalun dengan suaramu
kami disini bersaksi kaulah yang menjadi ratunya
kami disini bersaksi kau akan mencapai puncakmu
semoga kamu tidak akan lupa keberkahan yang diberikan Tuhan
semoga lancar jaya

Senin, 17 Februari 2020

JETOS MENDUKUNG CULTURE FIESTA 2020



Ajang berkesenian sudah lama dinanti oleh para pecinta dan pengerak seni, terutama seni tari di kabupaten Jember rasanya seperti tidak mau stagnan,terus dinamis. Nah gaes 14 maret 2020 di Jetos diselengarakan ajang kreasi anak muda untuk menampilkan garapannya. Simak terus yaa

Era milenial merupakan era digital, hampir seluruh anak muda terjangkit dengan kebutuhan gadget di setiap waktunya. Lalu apakah hal ini akan berpengaruh dalam aktifitas berkesenian para seniman di kabupaten Jember ? Ternyata aktifitas berkesian di Jember masih terasa eksis . Bahwa perkembangan kesenian di kalangan muda mudi saat ini nampaknya semakin berkembang dengan pesat dengan di lihat dari banyaknya kreatifitas yang terlahir dari generasi muda. 

Seni secara universal masuk dalam ranah digital , banyak sekali yang sudah dihasilkan dari kreatifitas anak muda disini misalnya seni disain, cinematografi dan photografi serata banyak lainnya. Nah salah satu bidang kesenian yang mulai banyak di tekuni adalah seni tari. Tarian tak hanya bersifat tradisi atau bentuk turun temurun saja, namun seiring perkembangan jaman dan pemberitaan dunia yang mulai meluas, remaja mulai mengenal tari garapan modern. Baik digarap secara perseorangan atau grup maupun di olah di sanggar-sanggar tari di Jember ini.

“Sanggar Hastarini merupakan salah satu sanggar yang cukup lama eksis, mungkin sejak 90an atau bahkan jauh sebelumnya . Sanggar ini didirikan untuk meningkatkan mutu dan perkembangan berkesenian generasi muda dengan mengajarkan berbagai kesenian tari tradisional.Sungguh penting untuk diapresiasi kiprahnya selama ini.”kata Iwan Kusuma koordinator WongSeje (wong seni jember).  Hal ini mendorong generasi muda supaya lebih kreatif dalam tari tradisional apalagi dengan kreatifitasnya mampu memadukan antara tradisional dan tari modern . Maksud mereka semata-mata untuk melestarikan budaya Indonesia, agar tidak ditinggalkan oleh generasi digital  sehingga mereka sengaja dengan tidak menghilangkan unsur tradisional di dalam tari modern garapannya.

“Pemerintah daerah Kabupaten Jember saya pikir juga perlu mengapresiasi bakat para generasi muda pecinta seni dan memberi wadah positif bagi kreatifitas bagi pemuda pemudi millenial,  agar terfasilitasi dalam menyalurkan bakat dan minat generasi muda terhadap kesenian. Mungkin dengan mensupport  event seni dan bantuan untuk sanggar-sanggar seni sebagai sarana untuk mengetahui kreatifitas dan kemampuan berkesenian karena disanalah anak akan menemukan  tempat berinteraksi dan menambah wawasan tentang kesenian. Bahkan mampu juga mengharumkan nama Jember dalam kancah arena pertunjukkan seni regional maupun nasional,”pungkas Cak Ndut ,panggilan akrab Iwan Kusuma.

Dukungan pihak swasta untuk memfasilitasi event CULTURE FIESTA “Menyatukan seni tradisi dan modern di era millenal” pada bulan maret 2020 yang akan datang oleh sanggar Hastarini ikut berpartisipasi adalah pihak management JETOS merupakan awalan yang baik.

Kamis, 28 November 2019

Sejarah biara budur Candi Borobudur




Pertama kali Candi Borobudur ditemukan pada sekitar tiga ratus tahun lampau,tempat ini masih berupa hutan belukar,  oleh penduduk sekitar disebut Redi Borobudur. Nama Borobudur ditemukan dari naskah Negara kertagama karya Mpu Prapanca pada tahun1365 Masehi, disebutkan tentang biara di Budur. Kemudian pada Naskah Babad TanahJawi (1709-1710) ada berita tentang Mas Dana, seorang pemberontak terhadap Raja Paku Buwono I, yang tertangkap di Redi Borobudur dan dijatuhi hukuman mati. Kemudian pada tahun 1758, tercetus berita tentang seorang pangeran dari Yogyakarta, yakni Pangeran Monconagoro, yang berminat melihat arca seorang ksatria yang terkurung dalam sangkar.

Pada tahun 1814, Thomas StamfordRaffles mendapat berita dari bawahannya tentang adanya bukit yang dipenuhi dengan batu-batu berukir. Berdasarkan berita itu Raffles mengutus Cornelius, seorang pengagum seni dan sejarah, untuk membersihkan bukit itu. Setelah dibersihkan selama dua bulan dengan bantuan 200 orang penduduk, bangunan candi semakin jelas dan pemugaran dilanjutkan pada 1825. Pada 1834, Residen Kedu membersihkan candi lagi, dan tahun 1842 stupa candi ditinjau untuk penelitian lebih lanjut.


Borobudur ketika ditemukan dalam keadaan terkubur. Beberapa ahli mengatakan Borobudur awalnya berdiri dikelilingii rawa kemudian terpendam karena letusan gunung Merapi. Hal tersebut berdasarkan prasasti Kalkutta bertuliskan ‘Amawa’ berarti lautan susu. Kata itu yang kemudian diartikan sebagai lahar Merapi, kemungkinan Borobudur tertimbun lahar dingin Merapi. Desa-desa sekitar Borobudur, seperti Karanganyar dan Wanurejo terdapat aktivitas warga membuat kerajinan. Selain itu, puncak watu Kendil merupakan tempat ideal untuk memandang panorama Borobudur dari atas. Gempa 27 Mei 2006 lalu tidak berdampak sama sekali pada Borobudur sehingga bangunan candi tersebut masih dapat dikunjungi.

Bahan batu vulkanik dari gunung-gunung batuan tua dapat dipastikan bahwa batu-batu bangunan candi Borobudur itu berasal, mungkin karena Pulau Jawa terletak di Cincin Api Sirkum Pasifik membuat lokasi Borobudur dipilih atas dasar disamping kecukupan bahan material juga terhadap penghormatan manusia jaman itu pada gunung. Candi Borobudur letak lokasinya dikelilingi oleh empat gunung api, yakni Merapi, Sindoro, Merbabu dan Sumbing. candi ini didirikan oleh Raja Samaratungga. Arsitektur bangunan ialah Gunadharma. Proses pembangunan dimulai sekitar 824 M dan baru selesai saat putrinya Ratu Pramudawardhani naik tahta. Pembangunan ditaksir memakan waktu setengah abad.


Masa pembangunan Borobudur pada masa keemasan Dinasti Syailendra pada  750 – 850 M didasarkan bangunan dasar candi, yang memiliki gaya huruf yang sama dengan prasasti-prasasti di era Dinasti Syailendra. Pada jaman itu tingkat pengajaran agama hindu pada mataram kuno, Candi Borobudur, salah satu peninggalan Dinasti Syailendra. Mataram Kuno atau Mataram (Hindu) merupakan sebutan untuk dua dinasti, yakni Dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra, yang berkuasa di Jawa Tengah bagian selatan. Dinasti Sanjaya yang bercorak Hindu didirikan  pada tahun 732.
Ide desain candi ini diduga kuat menggabungkan ide Gunung Meru, didasarkan pada bentuk geometris dari bangunan tersebut yang menyerupai piramida. Tentu ide Gunung Meru bukanlah monopoli Hindu. Budha juga memiliki konsepsi itu. Sementara itu, bicara fenomena sinkretisme keyakinan populer di atara kedua tradisi itu tampaknya juga jamak terjadi. Meru ialah simbolisasi gunung suci. Juga simbolisasi gunung kosmis di bumi, pusat jagat raya. Secara simbolis, karena lokasinya tinggi maka keberadaan gunung sering direpresentasikan sebagai lokus singgasana para mahkluk suci para dewa dan leluhur. Istilah Meru merupakan pemujaan Dewa Shiva dalam ajaran Hindu, yang mawujud sebagai Dewa Bumi atau Girisa sang Penguasa Gunung. Makna “Penguasa Gunung” inilah yang menjadi kata kunci penting untuk digarisbawahi. Dan barangkali, pembacaan historiografi Denys Lombard jadi signifikan memberi artikulasi makna dari pembangunan Borobudur.
Teori lain ialah tafsiran JG de Casparis. Prasasti Karang Tengah (824 M). Menurut informasinya anugerah tanah bebas pajak oleh Cri Kahulunan Pramudawardhani untuk memelihara 'kamulan' yang disebut 'bhumisambharabhudhara'. Istilah 'kamulan' berasal dari kata ‘mula’ yang berarti asal muasal, bangunan suci. Sedang kata 'bhumi sambhara bhudhara' yang berasal dari Bahasa Sansekerta yang artinya ialah 'bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan Boddhisattwa'.  Perkirakan nama itu berasal dari kata ,'bhumisambharabhudhara' adalah nama asli candi itu. Namun dalam perjalanannya, istilah itu secara diakronis berubah menjadi Borobudur disebabkan penyederhanaan ke dalam bahasa lisan oleh masyarakat lokal setempat.

Borobudur kesohor dan menarik perhatian dunia berkat tulisan The History of Java” (1817) karya Sir Thomas Stamford Raffles. Pada 1814, Raflles mendapat info tentang adanya bukit yang dipenuhi batu-batu berukir. Raffles mendapatkan nama 'Borobudur' dari masyarakat lokal sekitar selatan candi itu, sebuah desa yang saat itu bernama Bumisegoro. Membagi istilah Borobudur menjadi dua kata, yaitu 'boro' dan 'budur'. 'Boro' dapat ditafsirkan sebagai sebuah biara, sedangkan 'budur' adalah merujuk nama lokasi. Borobudur bisa diartikan 'Biara di Budur' halini menurut tafsir Poerbatjaraka. Tafsiran ini selaras dengan manuskrip Jawa Kuno, Negarakertagama (1365) Mpu Prapanca, dalam kitab inii ditemukan istilah ‘budur’ untuk merujuk pada adanya sebuah tempat perlindungan bagi pemeluk Budha.

Candi Borobudur murni dibangun oleh orang-orang arsitektur Jawa Indonesia,  dalam Historigrafi Perancis Denys Lombard , Le Carrefour Javanais (1996) juga mencatat, sekalipun relief-relief Borobudur jelas tidak dapat ditafsirkan tanpa merujuk pada risalah-risalah India mengenai Mahayana, kenyataannya di India tidak dikenal bangunan seperti candi ini. Benar bahwa desain arsitekturnya ide Stupa candi mengikuti pembagian kosmologi Budha-Mahayana. Bagian kaki candi yaitu 'kamadhatu'. Pada bagian ini menggambarkan tingkat kesadaran rohani manusia yang masih terikat pada berbagai keinginan duniawi. Bagian badan candi yaitu 'rupadhatu' yang melukiskan kesadaran rohani manusia yang mulai meninggalkan keinginan duniawai, namun masih terikat pada konsepsi nama dan rupa. Sedangkan yang terakhir ialah bagian kepala candi, yaitu 'arupadhatu'. Yakni, bagian yang mengilustrasikan kesadaran manusia yang telah mengalami pencerahan rohani sepenuhnya, tak lagi terikat pada nama dan rupa. Dalam Le Carrefour Javanais khususnya Buku Ketiga, Lombard mengungkapkan, orang Jawa Kuno menyembah gunung-gunung api tertentu. Seperti orang Bali yang memuja Gunung Agung dan orang Tengger memuja kawah Gunung Bromo. Pada pemujaan kuno itu masuklah konsep Gunung Meru, baik yang bersifat Hindu maupun Budha. Lebih jauh, terdapat konsepsi maharaja terkait pada poros itu dan dianggap sebagai “Penguasa Gunung” seperti Dewa Shiva di India. Borobudur merupakan perwujudan Meru yang indah sebagai tempatnya para orang-orang suci.

Lombard memaparkan lebih jauh. Dari abad ke-11 dalam kakawin Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa tercatat adanya ritual pemujaan Raja Airlangga kepada Dewa Gunung, Indraparwata. Dalam Kakawin Nagarakertagama dari abad ke-14 juga diceritakan bagaimana Mpu Prapanca memohon perlindungan pada Parwanatha (penguasa gunung), yang tiada lain ialah Raja Hayam Wuruk. Tak kecuali Mpu Tantular dalam karyanya Kakawin Sutasoma, juga dari abad ke-14, tercatat berbuat serupa, yakni mempersembahkan satu gubahan susastra pada Girinatha (Raja Gunung).

Lombard mengatakan, folklor pemindahan Gunung Meru dari India ke Jawa. Masih dari abad ke-14, kitab Tantu Panggelaran kisah penciptaan manusia dan sekaligus penataan Pulau Jawa oleh para dewa. Gunung Penanggungan di Jawa Timur pernah dianggap sebagai gunung kosmis sekaligus Gunung  Meru yang berasal dari India itu. Juga disebutkan perwujudan gunung kosmis yang lain terdapat di dekat Blitar, tempat raja-raja Majapahit membangun Candi Panataran. Sementara itu dari dunia wayang, Lombard menggarisbawahi ritus pemujaan pada gunung api yang terungkap pada simbolik 'kayon' atau 'gunungan'. Kayon atau gunungan secara simbolik berfungsi membuka dan menutup sebuah babak kisah (tancep kayon), juga secara simbolik melukiskan panorama alam semesta dengan segala isinya.

Bentuk Borobudur merupakan stilistika gunung api menjadi “gunung batu” sebagai perwujudan simbolik dari Gunung Meru, namun sekaligus juga perwujudan ide perihal stupa ukuran besar. Bermaksud memadukan ajaran puja bakti Budha-Mahayana dan pemuliaan terhadap leluhur Syailendra sebagai dewaraja adalah spirit di balik konsep estetis dari model arsitektural Borobudur.

Artinya, bicara aspek tujuan dan makna pembangunan Borobudur, secara hipotetis dapat disimpulkan bahwa selain merupakan bentuk pengejawantahan dari doktrin Budha-Mahayana, bukan mustahil maksud dibangunnya monumen ini ialah sebagai upaya membuat stilisasi gunung api secara simbolik dan ornamental ke dalam bentuk candi sebagai tempat pemuliaan akan leluhur Wangsa Syailendera. Tafsiran ini relevan dengan istilah Syailendra, yang bermakna 'Yang Dipertuan dari Gunung'. Arsitektural ini mengekspresikan adanya kesatuan geokultural yang khas Indonesia.



Jumat, 22 November 2019

Jinggo Pratama mengisi Kesenian Remo dalam Panggung Festival HAM 2019



Panggung kesenian yang ada di alun-alun kota jember malam ini adalah gelaran seni oleh para seniman Jember. Pertama dihentakkan oleh alunan musik perkusi yang berkolaborasi dengan hadrah dan kendang menjadi Hadrol yang kini menjadi musik perkusi khas Jember. Para hadirin yang hadir nampak terpukau dan berupaya merekam suguhan seni hadrol ini, setelah alunan hadrol mereka memberikan aplaus yang meriah. Mungkin dengan dihadirkannya sajian kesenian malam ini mampu membikin fresh sekaligus menghilangkan kepenatan para peserta Festival HAM dari lima belas negara, dengan padatnya jadwal acara sehingga menguras tenaga dan pikiran mereka.

Berikutnya hadir pula seni Remo merupakan kesenian tradisional khas Jawa Timuran . Seni Remo merupakan partisipasi dari  , Jinggo Pratama komunitas masyarakat kesenian Desa Lojejer  Kecamatan Wuluhan mewarnai acara pentas seni Festival HAM. Mereka merupakan seniman-seniman yang sudah lanjut usia, dan memang mendedikasikan dirinya untuk seni tradisi agar tidak punah dan tidak dikenali lagi oleh generasi sekarang ini. “Saya sudah hampir 60 tahun dan selama 40 tahun yang berkesenian. Supaya apa ? supaya seni tradisional ini tidak hilang,”kata Bu Sarten pimpinan grup seni tradisi Jinggo Pratama. Dan pernyataan yang jujur ini mendapatkan tepuk tangan dari para hadirin yang menyaksikan acara ini.

Sudah sejak kemarin berlangsung rangkaian acara festival Hak Asasi Manusia (HAM) di Kabupaten Jember 2019 , mulai dari seminar sampai pada pleno . Festival HAM 2019 di Jember ini berhasil, sebuah pernyataan dari Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik . Taufan memberi acungan jempol atas kerja pemerintah Jember sebagai tuan rumah Festival HAM internasional. “Jember It’s amazing, Jember luar biasa sekali, karena festival ini bisa terlaksana dengan baik dan itu karena juga mendapat dukungan dari seluruh masyarakatnya. Hidup Jember...hidup Jember,”begitu ucapnya ketika memberi sambutan pada acara pentas seni di Alun-alun Jember. “Semoga kita semua bisa dipertemukan kembali di festival yang sama ditahun depan di Banjarmasin, sekali lagi terimakasih untuk  Jember sebagai tuan rumah Festival HAM 2019,”tandas Taufan.