Minggu, 15 Juli 2018

riang gembira adalah manfaat seni dalam kehidupan kita







bergotong royong demi pemajuan seni budaya nusantara






pemudi bertalenta tetep perlu disupport







reyog putra sakti duel meet turonggo












seni drama tari dan musik dalam pagelaran Jatayu Tiwikromo



Sinopsis sendratasik Jatayu Tiwikromo

Pementasan  sendratasik kolosal JATAYU TIWIKROMO ini, adalah rangkaian antara  seni teater, tari dan musik melahirkan  pementasan gerak teater eksplorasi tubuh dengan iringan musik dalam menyampaikan kebhinekaan. Penonton nantinya akan disuguhi adegan atraktif atau laga yang mempesona dengan performance arts berbasis seni tradisi di Jember Multieknik.
Sendratasik kolosal JATAYU TIWIKROMO menjadi salah satu alternatif pilihan seniman  Jemberan yang tergabung dalam Dewan Kesenian Jember  menyampaikan persoalan, fenomena atau gagasan kebhinekaan Indonesia tanpa menggunakan bahasa verbal artistik.
Jatayu Tiwikromo menceritakan , bahwa membangun tatanan masyarakat majemuk diperlukan simbol pemersatu. Memang dalam prosesnya pasti akan menemukan pujian dari yang pro dan ujaran kebencian dari yang kontra. Perlawanan demi perlawanan yang berusaha mengusik proses selalu berupaya penghancuran karakter budaya bangsa. Dalam keadaan lemah hancur berkeping keping, justru muncul semacam kristal dari elemen-elemen yang secara konsisten membangun proses tersebut. Perenungan serta aksi masih juga di uji oleh waktu. Dan akhir hasil dari perenungan itulah menjadi wujud kekuatan pemersatu bangsa.
Awak produksi Jatayu tiwikromo
Sutradara Iwan Kusuma, Koreografi Laksmita Wisnu, Kostum Wiwik, Make up Kartika Angel , ilustrasi musik Fathorosy, manager panggung Basiswanto, photografer Dimas dan Fredy , Co Talent Suharsono, Co Property Farid Wajdi, CO Harmonisasi alam  Sutinggal dan Choidhar Kodrat . Didukung oleh 210 talent dari :
Sanggar tari Hastarini, UKM Kesenian Universitas Jember, Sanggar Seni Jaranan Cemeti Amarosuli,  Paduan suara Cantus Caelum Choir Jember, Marchingband SMK Pancasila 3 Ambulu, Cakar Unej, Keroncong Pamori, grup musik Patrol Zalher , Paguyuban difable Jember, SMK Kartini, SMAN Arjasa, Sanggar Satrya Muda Jelbuk, Cak Lip Sumbersalak, Bopo Sutinggal dengan CEMETI Amarosuli Wirowongso, asosiasi UMKM Jember, Komunitas Pelukis Jember, Sanggar Macapat Tegalbesar, komunitas warga Wirowongso, SMA Muhammadyah Jember, Sanggar Rias Chez Karyaka, Kaimana productions, grup Glundengan Sumbersalak, grup Ludruk Surya Utama, Ludruk Fajar Pagi, sanggar seni Satri Muda Tak butaan Arjasa, Sardulo Anurogo Reyog Universitas Jember .

jatayu produksi DKJ

 

 

 

 

disajikan di alun alun Jember dengan dukungan250 talent 

Sabtu, 14 Juli 2018

PARIKAN DI JEMBER


KIDUNGAN PARIKAN JULA JULI SEBAGAI BAHAN BAKU GERAKAN KEBUDAYAAN YANG BERKEPRIBADIAN  KEBANGSAAN INDONESIA
*IWAN KUSUMA , SEKRETARIS DKJ

Bicara Jula juli berarti akan dimulai dari ludruk. Pertama, ludruk adalah kesenian drama tradisional Jawa Timuran yang merupakan  drama tradisional oleh sebuah grup kesenian yang dipanggungkan dengan  cerita tentang kehidupan rakyat sehari-hari, cerita perjuangan kemerdekaan biasanya diselingi dengan lawakan diiringi gamelan . Dulu bentuk ludruk masih sangat sederhana bentuk seni yang berisi parikan dan dialog. Karena tarian yang dibawakan selalu menghentakkan (gedruk-gedruk) kaki, seni itu kemudian diberi nama “ludruk”. Bahasa panggung ludruk terasa sangat lugas , sehingga mudah diserap oleh kalangan non intelek. Dalam strukturnya terdapat dialog/monolog dalam ludruk bersifat menghibur dan membuat penontonnya tertawa, menggunakan bahasa khas Jawa timuran termasuk bahasa madura.
Kedua, dalam pementasan ludruk biasanya di buka dengan ngremo .Tari Remo, tari yang menggambarkan seorang  gagah dan tampan. Setelah itu lawakan diawali dengan seorang pelawak yang menampilkan kidungan, kemudian disusul beberapa pelawak lain. Mereka berdialog dengan materi humor yang lucu. Kidungan biasa di sebut jula juli (bahasa Jawa) dan Ngejung (bahasa Madura). Ketiga, masuk ke inti ludruk, dawali tari – tari sebagai atraksi hiburan termasuk ada juga dangdutan. Baru kemudian masuk dalam inti cerita ludruk.

Jula juli , parikan dan kidungan adalah sastra lisan khas rakyat Jawa Timur.
Kidung Jula juli ini termasuk pantun jenaka berbahasa Jawa. Jula juli  adalah pantun atau parikan bisa dimasukan sebagai  tradisi sastra lisan.(kini sudah banyak yang dibukukan) Fungsi parikan sebagai pitutur (nasehat) para orang tua kepada anak muda untuk bersemangat dalam berjuang menjalani hidup. Bisa juga menjadi sastra perlawanan dalam melawan penjajah , karena sejarah lahir berkembangnya ludruk pada saat perang kemerdekaan Indonesia.(Kamus Satra Jawa Poerwadarminta 1930, ludruk artinya teledek dan badut). Jadi sangat dimungkinkan bahwa karya seniman kidungan jula juli ini terpengaruh oleh situasi apresiasi kritis rakyat terhadap kondisi penjajahan dan akibat yang ditimbulkan oleh peperangan.

Struktur  jula juli
Jula juli adalah kata-kata bahasa Jawa yang susunannya terdiri dari 2 atau 4 bait. Bait pertama atau kedua merupakan “umpan pembuka”. Sedang bait ke 3 dan ke 4 adalah isi atau inti dari pesan yang hendak disampaikan. Bunyi terakhir dari bait “pembuka” harus mirip dengan bunyi kata terakhir dari bait “isi” sehingga “akhirnya” terdengar enak dan pas. Jula-juli bukan sekedar lucu, tapi harus bermakna bermanfaat bagi pendengar serta pembacanya. Dalam ludruk , jula-juli terdiri dari lima sampai delapan parikan yang saling terkait. Isi dari jula juli biasanya menggambarkan benang merah dari lakon / cerita yang akan dipentaskan.

Kritik sastra analisa unsur sosial dalam Kidung Jula Juli
Pendukung aktif tradisi sastra lisan parikan adalah penari remo, pelawak, tandak pravestri, dan pemain ludruk yang, dalam perspektif kritik sastra , tergolong kelas bawah. Kelompok sosial yang menjadi sasaran parikan adalah semua kalangan, baik masyarakat bawah maupun pemimpin masyarakat/negara Fungsi sosial parikan adalah menggambarkan dan mengkritik perilaku anggota masyarakat, pemimpin negara, dan realitas sosial keadaan masyarakat, yang, dalam perspektif kritik sosial, diwujudkan dalam bentuk ironi, imitasi, dan terutama enekdot dan parodi.
Dari kalimat-kalimat tersebut dapat menciptakan sebuah karya baik karya tulis maupun karya lisan, salah satu karya tersebut dinamakan karya sastra, sebuah karya sastra diciptakan oleh pengarang sebagai sarana untuk menuangkan ide dan aspirasinya melalui alat bahasa. Suharianto ,  mengemukakan bahwa karyawan tidak dapat di pisahkan dari kehidupan, mengingat karya sastra itu sendiri merupakan hasil pengamatan sastrawan atas kehidupan sekitarnya. Terdapat susunan kalimat yang bermakna kritik sosial dalam tradisi sastra lisan, fungsi sosial, parodi atau lelucon masyarakat kelas bawah.
Contoh
Manuk kuntul mangan teri
Kadung ucul ucul, anake tangi
Sastra lisan seperti parikan, dongeng, cangkriman, tetembangan, masih hidup di masyarakat Jawa . Dari semua bentuk tersebut, parikan bahasa Indonesianya: pantun menempati urutan teratas dalam hal keluasan distribusi, frekuensi kemunculan, dan kebertahanan hidup di tengah pendukungnya. Sebagai tradisi lisan, parikan muncul lewat interaksi sosial konkret empiris sehari-hari. Sastra ini hadir dalam pentas panggung ludruk, ketoprak, wayang kulit, kuda lumping, kelompok karawitan, bahkan  mengalir dalam lagu-lagu langgam dan campursari.
Dalam drama rakyat ludruk, misalnya, parikan muncul dalam lantunan jula-juli penari remo, kidungan dagelan (lawak), dan para tandak  . Meskipun , dalam jula-juli tersebut isinya tidak hanya parikan tetapi mungkin tetembangan.  Tulisan ini hanya kajian sosiologi sastra yang sengaja mengangkat julajuli dalam kesenian rakyat ludruk sebagai fokus kajian. Fokus mengidentifikasi masalah berikut: (1) Siapa pendukung aktif sastra lisan kidungan dalam pentas ludruk (2) Kelompok sosial manakah yang menjadi sasaran dalam kidungan ludruk,  3) apa fungsi kidungan julajuli dalam ludruk
Kajian sosiologis ini menggariskan pentingnya karya sastra berfungsi secara sosial. Setiap pengarang mempunyai tanggung jawab sosial dalam  mengkritik ketimpangan sosial . Teks sastra lebih merupakan reaksi terhadap konteks sosial ketimbang sebagai cerminan kenyataan masyarakat. Dalam teks (lisan maupun tulis) reaksi tersebut ditampilkan dalam wujud ironi (pertentangan), parodi (sindiran), atau imitasi (peniruan).  

Pendukung Aktif Sastra Lisan Parikan dalam Ludruk
Parikan mempunyai kedudukan penting dalam setiap kesenian rakyat ludruk, baik pentas di panggung rakyat, media elektronik televisi, maupun dalam rekaman kaset. Dalam setiap penggelaran ludruk, parikan muncul dalam nyanyian penari remo sebagai pembuka pentas ludruk, muncul nyanyian gending jula-juli para pelawak, baik gaya jombangan, surabayan, maduraan maupun malangan, serta hadir dalam nyanyian para tandhak pavestri. Bahkan, dalam dalog dagelan atau adegan cerita inti pun, parikan biasa muncul, tidak hanya dari bibir pelawak, tetapi juga dari para pemeran lainnya. (Suprianto, 1992). Dengan demikian, dapat dirangkumkan bahwa pendukung aktif parikan—yang aktif menyuarakan—dari awak drama rakyat ludruk ada empat kelompok: (1) penari remo, (2) pelawak (dagelan), (3) tandhak pavestri, dan (4) pemain ludruk.

Kelompok Sosial Sasaran
Yang dimaksud “sasaran” di sini adalah pihak-pihak yang dituju dengan dilantunkannya parikan atau tentang siapakah yang dilukiskan dalam lantunan parikan itu. Sasaran kidungan ludruk mengarah pada berbagai kelompok. Jadi, tidak hanya penonton yang rata-rata golongan menengah ke bawah , tetapi juga para pemimpin negara (eksekutif dan legislatif).
Kelompok sasarannya jelas golongan rakyat kebanyakan golongan yang menjadi pendukung terbesar kesenian ludruk. Umumnya adalah para petani, buruh pabrik, nelayan, tukang becak, kuli bangunan dan kuli angkut pelabuhan, dll. Pendeknya, orang-orang kecil yang sering termarginalisasikan dari putaran nasib.
Jarene nang pasar kewan , jebul nang mbultuk
Jare dadi dewan, jebule malah ngantuk
Contoh lagi
Pring biyen tipis-tipis
Pring saiki umure rong sasi
Maling biyen nggawa linggis
Maling saiki do nggawe dasi
Contoh lagi
Bekupon omahe dara
Masiya wis gak dijajah Nipon, pancet sengsara

Kidungan jula juli tadi  ada yang sudah dilantunkan saat Indonesia masih dijajah Jepang (1942—1943) . Seluruh seniman ludruk senantiasa membanggakan heroisme Cak Durasim putra Jombang ini. Cak Durasim dianggap orang yang berbahaya yang harus diawasi, diwaspadai, dan memang akhirnya dijebloskan ke penjara oleh tentara Jepang.
Iwak sepat saka Banyuwangi
Dipangan ambek ganongan
Dadi pejabat, kok korupsi
Ngono iku jenenge bajingan

Fungsi Sosial Parikan Ludruk
Sebagai produk tradisi sastra lisan, parikan mempunyai beberapa fungsi sosial. Fungsi sosial yang dimaksud dapat dikelompokkan ke dalam tiga jenis, yaitu: (a) menggambarkan realitas perilaku anggota masyarakat dan pemimpin negara, (b) mengkritik perilaku anggota masyarakat dan para pemimpin negara, dan fungsi lainnnya (c) menggambarkan buruknya realitas kehidupan masyarakat dan negara.
Dina Minggu mase prei
Ditunggu-tunggu berase kok gak diwehi
Di sini sangat jelas fungsi kritik sosialnya. Jula juli sangat mungkin digunakan menyindir realitas sosial . Sering digunakan  saat berhadapan dengan kesewenangan kekuasaan. Inilah cara khas wong cilik melancarkan kritik lewat ekspresi artistiknya .

Kesenian rakyat yang berkepribadian akan mampu menjadi gerakan kebudayaan
Kesenian rakyat seperti kidungan, parikan ataupun jula juli yang berakar pada kesenian Ludruk ini jika kita kaji dengan seksama telah memenuhi syarat-syarat sebagai gerakan yang membumi. Tidak tercerabut dari akarnya, tetapi tetap eksis bahkan teruji dalam kurun waktu yang cukup lama dan berhasil survive di tengah – tengah gempuran seni-seni modern terutama di jawa timuran. KONSEP “TRISAKTI” BUNG KARNO. Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno dalam Pidato Trisakti tahun 1963 menegaskan: 1. berdaulat secara politik 2. berdikari secara ekonomi 3. berkepribadian secara sosial budaya. Dalam konteks ini sastra lisan khas jawa timuran bisa dikatakan telah membangun konsep trisakti Bung Karno yang ketiga berkepribadian dalam budaya. Kidungan , parikan maupun jula juli mampu memberikan arah kepada rakyat baik untuk mengungkapkan sikap kritisnya pada penguasa dan lainya mengapresiasi. Fungsi sosialnya bahwa dalam prakteknya komunitas ini lebih merakyat dan mampu mempengaruhi siapa saja untuk diingatkan secara vulgar ataupun ironi. Sikap kebangsaan mereka para pendukung sastra lisan jawa timuran ini sangat jelas, dalam setiap lakonnya terutama mengenai situasi kemerdekaan Indonesia selalu memberikan ulasan-ulasan semangat nasionalisme ala masyarakat bawah. Bahwa hasil cipta karya dan karsa para seniman ludruk justru tidak eksklusif (individual) karena nampak bangunan-bangunan demokratis dan kegotong royonganya , tetapi mereka berusaha untuk men siarkan pada khalayak umum . Jika sikap para seniman sastra lisan yang berakar dalan kesenian ludruk ini selalu meng update, situasi kekinian baik sosial budaya , ekonomi politik dan disiarkan dalam panggung-panggung di pedesaan , maka di jawa timur khususnya akan mampu menjadi gerakan kebudayaan yang berkepribadian kebangsaan Indonesia.

Kesimpulan
Pembahasan  tadi dapat ditarik kesimpulan berikut. (1) Pendukung aktif tradisi sastra lisan parikan julajuli adalah penari remo, pelawak, tandak , dan pemain ludruk, yang  tergolong masyarakat bawah. Sehingga sangat disarankan agar rakyat kecil selalu memberikan apresiasi terhadap kehadiran lufruk terutama jula julinya(2) Kelompok sosial yang menjadi sasaran parikan adalah semua kalangan, baik masyarakat bawah maupun pemimpin masyarakat/negara . Bahwa parikan jula juli bila terjaga keberadaannya akan mampu menjadi cerminan masyarakat untuk semua kalangan. (3) Fungsi sosial parikan jula juli adalah  mengkritik perilaku masyarakat, penyelenggara negara, dan realitas sosial masyarakat, dalam bentuk ironi, imitasi, dan terutama parodi  badut. Jika seni sastra lisan yang berakar diseni ludruk ini mampu dilaksanakan secara masif serta dalam pemanggungannya selalu meng update situasi sosia budaya,l ekonomi dan politik dan selalu berdekatkan dengan masyarakat di pedesaaan dan perkotaan maka sanga dimungkinkan menjadi gerakan kebudayaan yang berkepribadian kebangsaan Indonesia.  Saran agar penguasa tidak selalu membuat rakyat kecil sebagai obyek penderita.

*disajikan sebagai bahan diskusi dalam acara seminar jula juli di RRI Jember #iwankusuma