Mondosiyo lawu karanganyar
Terdapat acara ritual adat di lereng gunung Lawu dikenal sebagai wilayah yang sakral, penuh
dengan misteri gaibnya, sehingga menjadi pusat kegiatan ritual dan upacara
adat karena disana dianggap paling sempurna. Hampir setiap perbukitan sepanjang
lereng barat dan utara gunung Lawu ditemukan berbagai jejak petilasan dan makam atau pesarean
para tokoh spiritual jawa penganut kepercayaan warisan luhur bangsa. Salah satu
upacara tradisi yang hingga kini diyakini mampu membawa berkah berlimpah-limpah
adalah Upacara Adat Mondosiyo. Upacara ini dilakukan oleh masyarakat suku jawa
di Dusun Pancot, Kelurahan Blumbang dan Desa Tengklik Kecamatan Tawangmangu
Kabupaten Karanganyar, pada setiap hari Selasa Kliwon Wuku Mondosiyo.
Legendanya upacara
adat ini dilaksanakan dalam rangka memperingati kemenangan masyarakat adat, karena seorang pemuda perkasa telah berhasil mengalahkan dan menghancurkan perilaku kekejian dan
kebiadaban nafsu sang Prabu boko, seorang raksasa pemakan manusia. Wujud upacara tadi melalui
doa adat yang dipanjatkan, dan sesaji tradisi yang dipersembahkan masyarakat
dan semua peserta upacara adat Mondosiyo. Upacara adat ini bertujuan agar masyarakat luput dari malapetaka
serta terbebas dari marabahaya, bahkan memperoleh kedamaian dan kemakmuran
serta kemudahan hidup bersama dalam masyarakat secara terus menerus.Tata
Upacara ini dimulai pada hari Minggu Pon. Dua hari sebelum puncak Upacara
Mondosiyo berlangsung, masyarakat setempat mengumpulkan beras untuk diolah menjadi
gandhik, serta aneka makanan khusus lainnya sebagai perlengkapan sesaji. Di
samping itu, secara gotong royong masyarakat setempat membeli seekor kambing
dan sejumlah ayam kampung sebagai sesaji utama.
Warga menyiapkan uba rampe upacara adat sejak tiga hari
sebelum acara, yang rame adalah rebutan ayam. Prosesinya diawali atraksi
sejumlah kelompok Reyog. Mereka berjalan dari gerbang desa menuju situs batu
gilang. Atraksi Reyog berhenti setelah kenong dipukul. Selanjutnya, pemangku
adat akan menyiramkan air badek atau tape ke situs batu gilang. Dikisahkan dulu
Dusun Pancot dikuasai raksasa jahat pemangsa manusia, Prabu Boko. Raja lalim
itu takluk kepada Pangeran Putut Tetuko melalui pertempuran sengit. Akhirnya Putut
Tetuko memenggal dan melemparkan kepala raksasa ke batu. Lantas batu ini dikeramatkan warga
dan dikenal sebagai batu gilang.
dilain lokasi juga ada ritual mondosiyo di dusun pancot juga
ada di pelataran candi cetho. Artinya upacara ada didua lokasi. Kalau di candi
cetho , upacara adat ini ditandai berkumpulnya warga di pelataran Candi Cetho
dengan membawa uba rampe berupa tumpengan komplit lauk pauknya. Tokoh spiritual
memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk keselamatan dan kesejahteraan
warga serta mendoakan arwah leluhur mereka. Dikisahkan, upacara ini
memperingati hari kelahiran Ki Ageng Krincing Wesi, yakni leluhur warga Desa
Cetho, pada wetonnya Selasa Kliwon Wuku Mandasiya. Seluruh masyarakat dusun itu
mengikuti ritualnya tanpa memandang perbedaan agama. Tersedia seratus lebih tumpeng
lengkap dengan ingkung bakar di tiap tumpengnya, yang dibawa oleh masing-masing
keluarga itu. Usai dibacakan doa, warga mengambil bertukar tumpengannya untuk
kemudian disantap di rumah bersama keluarganya. Memang dalam kesadaran
masyarakat disana upacara ini selain menghormati leluhur, mensyukuri nikmat
dari tuhan juga sekaligus sebagai media silaturahmi juga.
Di hari yang sama, dua perkampungan di lereng Lawu melaksanakan ritual adat Mondosiyo, baik di
pancot maupun di cetho meski prosesinya berlainan, namun semua mengikuti pakem
sesuai yang diajarkan leluhur mereka. Semua baik-baik saja diantara
masyarakatnya juga saling menghormati dan menjaga kerukunan . Sementara literasi sejarah lisanya, memberikan gambaran saat
kehancuran Majapahit (sirna ilang kerthaning bhumi) tahun 1400 saka atau 1478
masehi, ada keyakinan bahwasannya Prabu Brawijaya naik ke gunung Lawu menyingkir
ke Cetho bersama dua penasehatnya (Sabdopalon dan Noyogenggong) dan didampingi
oleh Ki Ageng Krincing Wesi melakukan tapa brata. Layaknya dalam tradisi Hindu
melakoni kehidupan sebagai seorang Sanyasin. Itulah yang menjadi sebab pada
gugusan candi Cetho selain tempat pemujaan kepada Hyang Widhi terdapat pula
tempat pemujaan terhadap Prabhu Brawijaya, Sabdopalon, Noyogenggong dan Ki
Ageng Krincing Wesi. Yang penting legenda dan sejarah masyarakat , memberikan
sebuah ajaran untuk menghormati leluhur, selalu bersyukur atas nikmat dari
tuhan serta guyup rukun antar sesama masyarakat tanpa membedakan agama dan status
sosial. Merawat tradisi berarti merawat kebudayaan nusantara. fotodoc desy kranyar