sajak kenangan
seperempat kenangan lebih untuk istriku
Masih tebal garis bekas tapak-tapak kaki, di belahan sekian
halaman buku-buku waktu. Kayaknya terasa benar, kita pernah melewatinya, kau ingat
hulu sungainya sampai jalan setapak dipematang sawahmu, yang pernah kubajak
bersama otot-otot kerbau jantan menggaruk garuk, menggaruk garuk menggaruk dan menggaruk tanah sawah hingga merasakan matahari jadi buram terbenam.
dan
setelah habis masanya ular dan katak kembali bersaing mengejar kesenangannya,
mereka seperti teman lama. Meski saling intip saling bersarang, takdirnya berlainan
kubangan kadang saling usil. Biarlah nduk, dihalaman buku-buku waktu ternyata telah
mencatat , kita telah berani mencoretkan warna merah, belum mesti ada rasa menjadi asahan
pedang yang hebat atau malah tak percaya takdir, dan ternyata
seperempat kenangan lebih telah menjelma batu berlian, sungguh meyenangkan hati.
Tapi biarlah nduk, kenapa mesti tak berani menikmati kenangan,
kenangan itu manusiawi sama seperti saat haus dan panas kita tercebur dalam kolam
berair sejuk, basah kuyub. Itu bukan kecelakaan to, mesti harus berhadapan dengan mata
pedang baja penguasa kolam. Halaman buku-buku waktu telah tahu siapa kita, dan kau telah
berapa kali mebuka dan menutup. Bahkan membukanya lagi, membaca dan kemudian mengangguk
mengerti walau tak terucap kata.
Akupun mengisi halaman buku tamu di buku-buku waktuku, agar
jangan lupa berlari bersama tiap pagi, dan dimalam hari tak lupa mengeja bintang-bintang cemerlang
Seperempat kenangan lebih, menempa tulang-tulang kakiku,
mengeraskan telapak dan siap berlari untuk mengejar mencintai setiap bintang yang akan jatuh. nduk kau yang paling mengerti aku.