Ludruk pernah jaya di maa-masa perjuangan pergerakan, hingga Indonesia merdeka dan jaman-jaman mengisi kemerdekaan. Pentas ludruk dulu sangat sering durasinya bisa sebulan sekali dalam satu desa. Ludruk bener-bener seni pertunjukan rakyat yang selalu dinanti oleh penikmatnya. Pak Sumo menyatakan bahwa , seni pertunjukan ludruk itu sendiri, bisa diartikan dari huruf ynag menyusunya. Jadi ludruk adalah lembaga dari rakyat untuk kemerdekaan, makanya pentas seni drama tradisional menjadi maju dan bersinar pada masa pergerakan kemerdekaan. Orang banyak menangkap pesan dari pentas itu. Ceritanya tentang ludruk itu didapatkan ketika silaturahmi di rumah Pak Dhaim tokoh nasionalis yang peduli pada kesenian dari Jenggawah menambahkan keterangannya.
Meski ludruk dianggap makin menghilang, bahkan nyaris tidak
eksis dalam dunia seni pertunjukkan seni tradisional. Tetapi beberapa hari yang
lalu ada pentas Ludruk Balada yang dipimpin oleh Pak Lego, rupanya tidak mau
dibilang ludruknya telah mati , nyatanya masih eksis untuk memberikan hiburan
kepada rakyat di Jember Selatan. Pertunjukan ludruk hadir menghibur rakyat yang
lalu di Desa Tembokrejo Kecamatan Gumukmas merupakan bukti ludruk belum mati.
Meskipun dengan keadaan yang kembang kempis setelah pandemi covid 19 , sekarang
sudah diijinkan pentas sebagai
konsekuensinya seniman harus selalu siap membuat pertunjukan ludruk menyuguhkan
hiburan segar untuk para penikmatnya. Mereka berpandangan kalau suguhan pentasnya
jelek dinilai oleh penonton, maka besok-besok penonton malah meninggalkan
ludruk. Dan itu akan berakibat ambruknya seni ludruk sebagai salahsatu seni
pertunjukan yang menjadi aset budaya nusantara hapus dari daftar seni budaya
Indonesia.
Meski pemain ludruk balada tidak semuanya dari desa tembokrejo,
tetapi pak lego pimpinan ludruk ini sedang melakukan regenerasi dan mendidik
anak-anak muda untuk cinta pada budayanya sendiri. Sampai-sampai ngebon pemain
dari Andongrejo jember mas Ari Arjes, dan remongnya di bon dari Mayang, bahkan
kadang-kadang didatangkan dari yosowilangun Lumajang. Memang pola tambal sulam
dalam pentas ludruk antara grup ludruk di Jember menjadi hal yang biasa. Mungkin
karena semakain berkurang talenta anak-anak muda sekarang yang mau terjun dalam
seni ludruk. Makanya pemain bisa menjadi double casting dalam hari yang sama
ditempat yang berbeda, asalkan mampu waktu tempuhnya cukup untuk jalan cerita
yang membutuhkan perannya. Seni ludruk butuh perhatian pemerintah dan
masyarakat agar tetap lestari dan berkembang sebagai aset seni budaya kabupaten
Jember.